Alat yang digerakkan dengan sinyal otak bukan khayalan. Dua mahasiswa Universitas Bina Nusantara (Binus) ini mengembangkan kursi roda yang digerakkan sinyal otak.
Adalah Jennifer Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonangan (21), mahasiswa Semester 7 Teknik Informatika yang membuat proyek skripsi karena melihat banyak sekitarnya membutuhkan kursi roda.
"Banyak yang tangannya patah, cacat seluruh tubuh, lumpuh dari leher ke bawah. Kami ingin membuat sistem yang menolong orang lain," tutur Jennifer kala ditemui di Binus Kampus Jalan KH Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (22/1/2016).
Dari observasi penyandang disabilitas di sekitar mereka, ternyata, banyak disabilitas itu otak dan pikirannya masih sehat. Sehingga, Jennifer dan Ivan mengembangkan kursi roda dengan kendali otak. Penelitian ini sebenarnya melanjutkan dan mengembangkan penelitian kakak kelas mereka.
Maka, komponen-komponen utamanya adalah kursi roda dan alat bernama neuroheadset. Neuroheadset adalah alat yang bisa menangkap gelombang listrik otak dan memperkuatnya dalam skala ribuan kali. Neuroheadset ini terhubung ke aplikasi software yang mereka buat di dalam CPU.
"Aplikasi kami akan mengolah sinyal yang diterima dari neuroheadset, lalu difilter untuk mengambil gelombang alfa dan beta, yang kemudian ditransformasi dengan algoritma Fast Fourier Transformation, yang kemudian jadi input untuk mesin," jelas Jennifer.
Aplikasi yang dibuatnya kemudian akan meneruskan sinyal yang sedang diproses ke Arduino Uno yakni papan mikrokontroler, dan diteruskan ke motor driver yang akan digunakan untuk menggerakkan kedua motor DC, motor listrik yang bekerja menggunakan sumber tegangan DC.
Cara kerja kursi roda ini memakai 2 data, dengan electric encephalo graphi (EEG) alias sinyal otak untuk disabilitas yang lehernya tidak bisa bergerak dan dengan gyroskop untuk menangkap sensor gerak, bagi penderita yang masih bisa menggerakkan leher.
Penampakan kursi roda itu,berkelindan kabel-kabel di sebelah kiri yangterhubungkekotakmetalberisimikrokontrolerdanmotordriver, serta ada accu yang diwadahi kotak metal di bawahnya.
Ivan lantas memperagakan kursi roda itu. Dia duduk di atas kursi roda,memakaiwirelessneuroheadset dengan 14 tangkai di yang melingkar di kepala,danmemangkulaptop . Untuk pengguna pertama, aplikasi software harus merekam respon pengguna, sinyal otak untuk bergerak maju, kiri, kanan, memutar kekiridankanandarineuroheadset.
Kemudian, untuk menggerakkan kursi roda, Ivan terlihat fokus sekali. Roda-roda kursi itu bergerak maju, sementara Ivan hanya berpangku tangan. Bila ingin menghentikan kursi roda, cukup dengan kedipan mata, mata kiri, kanan atau kedua mata.
"Apabila tertidur atau panik, kursi roda itu otomatis stop," jelas Jennifer.
Alat dan aplikasi yang mereka namakan Bina Nusantara Wheelchair (BNW)-Kursi Roda dengan Kendali Otak ini mereka kembangkan sejak Februari-Oktober 2015 lalu.
"Yang lama adalah kami mencari cara bagaimana membuat aplikasi ini mudah digunakan untuk pengguna," tutur Jennifer.
Karya mereka meraih juara 2 dalam lomba Pagelaran Mahasiswa Nasional bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (Gemastik) 2015 kategori sistem cerdas. Riset ini juga mengantarkan dosen pembimbing skripsi mereka, Dr Widodo Budiharto, SSi, MKom masuk 15 besar Dosen Berprestasi Nasional. Penelitian ini dibiayai oleh Toray Research Grand dari Jepang.
EEG dan Neuroheadset Teknologi Kunci Pengerak Kursi Roda dengan Sinyal Otak
Electric encephalo graphi (EEG) dan neuroheadset menjadi kuncinya.
"Soal pembacaan pikiran, secara teoritis, otak kita itu memancarkan sinyal, namanya EEG atau electro encephalo graph. Bagaimana sinyal itu tergantung dari apa yang kita pikirkan," demikian kata dosen Ilmu Komputer Universitas Binus, Dr Widodo Budiharto, SSi, MKom ditemui di kampusnya, Jl KH Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (22/1/2016).
Widodo artinya dosen pembimbing skripsi 2 mahasiswa Binus yang menyebarkan kursi roda yang digerakkan sinyal otak, Jennifer Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonangan (21).
Frekuwensi otak alias EEG ini, menurutnya berupa gelombang listrik sebesar 1 mikro Volt atau kurang, yg memancar berasal kulit kepala. Besaran sinyal otak itu, tergantung dari tipe kulit dan ketebalan rambut. Buat menangkap EEG ini, maka dibutuhkan sensor EEG.
Electric encephalo graphi (EEG) dan neuroheadset sebagai kuncinya.
"Soal pembacaan pikiran, secara teoritis, otak kita itu memancarkan frekuwensi, namanya EEG atau electro encephalo graph. Bagaimana sinyal itu tergantung berasal apa yg kita pikirkan," demikian istilah dosen Ilmu komputer Universitas Binus, Dr Widodo Budiharto, SSi, MKom ditemui pada kampusnya, Jl KH konon, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (22/1/2016).
Widodo artinya dosen pembimbing skripsi dua mahasiswa Binus yang mengembangkan kursi roda yg digerakkan sinyal otak, Jennifer Santoso (21) serta Ivan Halim Parmonangan (21).
Sinyal otak alias EEG ini, menurutnya berupa gelombang listrik sebesar 1 mikro Volt atau kurang, yg memancar dari kulit ketua. Besaran sinyal otak itu, tergantung asal tipe kulit dan ketebalan rambut. Buat menangkap EEG ini, maka diperlukan sensor EEG.
"pada aplikasinya, bisa kita terapkan di berbagai aplikasi, mirip game, atau menggerakkan kursi roda yg maju-mundur. Sensor EEG ini membaca pikiran kita," jelas Widodo.
Nah, pada pengembangan kursi roda bersinar-sinar Nusantara Wheelcair (BNW) - Kursi Roda menggunakan Kendali Otak, sensor EEG yang digunakan bernama "neuroheadset". Widodo membeli neuroheadset ini buat kepentingan riset anak didiknya, bermerek Emotiv Epoc sintesis Australia. Harganya, kurang lebih Rp1,5 juta.
"Neuroheadset ini kegunaannya menguatkan frekuwensi otak pada orde ribuan kali," imbuh beliau.
Sinyak otak 1 mikro Volt atau kurang ini, kentara tak bisa menggerakkan benda. Sinyal ini wajib diperbesar sebagai hingga 100 ribu kali, sampai sekitar 5 volt. Nah sinyal yg telah kuat ini kemudian menjadi input data dalam perangkat lunak aplikasi buat diklasifikasikan sampai menggerakkan motor.
Ilmu EEG serta neuroheadset ini sebenarnya bukan hal baru. Widodo mengatakan, Sejak tahun 1929, seseorang ilmuwan sudah berhasil membagikan ilustrasi EEG seseorang anak yg dipublikasikan secara ilmiah. Begitupun neuroheadset, alat ini pula bisa dibuat sendiri.
"indera ini (neuroheadset) sebenarnya gampang dirancang, tidak mahal serta teknologi usang. Kalau buat sendiri paling habis Rp 500 ribu," kentara beliau.
Namun, mengapa dirinya tidak menghasilkan secara manual, tantangannya adalah di noise alias sinyal-sinyal otak yang 'berisik'. Indera sintesis sendiri, keberisikannya sangat besar serta belum mampu melakukan filter frekuwensi otak mana yg penting dan dibutuhkan. Neuroheadset ini, imbuhnya, jua belum ada yg diproduksi pada Indonesia karena tantangan kesulitan mengurangi 'berisik' itu tersebut.
"kalau perangkat ini kita buat, maka wasting time dan hasilnya tidak optimal," jelas beliau.
(dtk)
0 komentar:
Posting Komentar